Zya's World

"Welcome to My World"

Minggu, 16 Mei 2010

10 Kebiasaan Buruk Manajer

Banyak manajer memperlihatkan perilaku-perilaku di tempat kerja yang tak mereka perlihatkan di tempat lain seperti di rumah. Mengapa ini terjadi? Mari simak faktanya!

Mengapa kita sering bersikap tertentu di tempat kerja, tetapi merasa tak pantas melakukannya di tempat lain? Misalnya, kita jarang melihat seseorang bersikap tak sopan pada orang lain di acara-acara sosial. Lalu, mengapa sikap ini menjadi tampak pantas dilakukan di tempat kerja? Mengapa harus ada ketidakcocokan perilaku di tempat kerja, di rumah, dan di acara-acara sosial?

Perilaku-perilaku buruk mampu menciptakan stres, baik bagi manajer maupun pegawainya, dan ini sering berdampak pada para klien perusahaan. Seharusnya, hal ini tak perlu terjadi.

Ada manajer merasa kesulitan dalam berkomunikasi dan bersikap tak mempercayai pegawainya. Akibatnya, pegawaia tak melakukan tugas seperti yang diinginkan karena tak mendapatkan instruksi yang jelas. Atau, ada manajer yang disorganisasi adn tak bisa mengambil keputusan.

Nah, sejumlah pengobatan sederhana tampaknya bisa memberi dampak agar hidup berkarier jadi lebih baik. Dapat pula Anda simak, sikap buruk apa saja yang cenderung sering dilakukan para manajer!

Menggencet
Menggencet dapat secara lisan atau fisik, dan selalu mengandung makna ancaman kekejaman yang melekat. Umumnya gencetan diperlihatkan manajer pada bawahannya. Gencet menggencet jarang terlihat di tingkatan yang lebih rendah.

Hal kritis untuk dicatat, perilaku menggencet membuat semua pegawai, tak hanya yang digencet, jadi ketakutan. Begitu pegawai merasa takut, ia tak dapat berpikir positif dan kreatif. Jadi, gencetan merupakan hal paling tidak memotivasi, tak bermoral dan paling buruk diantara semua kebiasaan buruk.

Komunikasi Buruk
Kategori ini termasuk pada manajer yang gagal memberi umpan balik pada prestasi bawahannya, termasuk pujian dan kritik membangun demi mendisiplinkan bawahan secara terbuka. Atau, yang tak bisa secara efektif mengomunikasikan tugas yang diinginkannya.

Atau, yang mengasumsikan bawahannya pasti mengerti maksudnya. Ini termasuk manajer yang tak tahu cara mengomunikasikan pentingnya proses yang baik demi mengoptimalkan penugasan, serta tak tahu cara mendengarkan bawahannya.

Tidak Ada Kepercayaan
Para manajer yang gagal mempercayai bawahannya, untuk bisa melakukan tugas dengan baik atau memberi ruang gerak bagi bawahannya untuk menerima peningkatan tugas lebih sulit, merupakan penghalang bagi perkembangan dan prestasi pegawai.

Tak adanya rasa percaya mengarah pada malasnya mendelegasikan tugas atas nama manajer, yang pada gilirannya membuat bawahan menarik keterlibatan dirinya di tempat kerja. Gejala lainnya, manajer yang terlalu melihat segala hal sampai detail, akan mematahkan semangat pegawainya.

Tak Efisien & Tak Bisa Ambil Keputusan
Manajer reaktif, yang lari dari satu krisis ke krisis lainnya, atau secara konstan bereaksi terhadap krisis dan tak proaktif, dipandang sebagai atasan yang tak efektif. Tipe perilaku ini memberikan jumlah stres yang signifikan, baik bagi manajer maupun pegawai, dan akhirnya berdampak pada klien perusahaan.

Manajer jenis ini jarang bekerja sama dengan bawahannya untuk mengidentifikasikan akar persoalan dan cara mengatasinya. Sebaliknya, mereka terus menerus membicarakan gejala-gejala yang ada.

Salah satu tugas manajer adalah mengambil keputusan. Itu sebabnya ia berpenghasilan lebih besar dari bawahannya. Manajer yang takut menerima tanggung jawab atau konsekuensi dari keputusan yang diambil, dipandang sebagai atasan yang tak efektif.

NATO (No Action Talk Only)
Tak ada yang lebih menjatuhkan semangat pegawai daripada melihat manajer yang sangat pandai berbicara soal nilai perusahaan, namun kenyataannya tak menerapkan nilai-nilai tadi.

Manajer yang gagal memberi contoh perilaku yang tepat di tempat kerja menyulitkan para pegawai untuk menjaga standar tinggi yang diminta, bahkan meski mereka menginginkannya. Jika manajer ingin pegawai bertindak sesuai cara-cara tertentu, ia harus lebih dulu memberi contoh yang diinginkan.

Kasar & Tak Sopan
Manajer yang gagal memperlakukan pegawainya secara manusiawi bisa sangat mengganggu stabilitas departemen, bahkan perusahaan. Ada manajer tak pernah menyapa pegawainya saat datang di pagi hari. Pegawai tersinggung dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk membicarakan sikap tak sopan ini.

Sementara manajer tetap tak menyadari, terjadinya ketidak produktifan yang serius akibat perilaku buruknya. Perilaku ini mulai menular ke para pegawainya untuk mulai bertindak tak sopan satu sama lainnya, dan akhirnya membuat klien menderita.

Politik & Ketidakadilan
Politik di tempat kerja yang ditimbulkan manajer adalah politik mematahkan semangat dan memecah belah pegawai. Perlakuan tak sama terhadap pegawai ini sangat mematahkan semangat, dan dipandang sebagai sikap tak adil dan pilih kasih. Mereka pasti bereaksi terhadap sikap ini.

Menghindar
Banyak manajer bersikap seperti ini, dan mereka akan melakukan apa saja untuk menghindar berhadapan dengan masalah suilt. Umumnya masalah ini berhubungan dengan pelaksanaan pimpinan yang hampir secara menyeluruh merupakan masalah yang seharusnya dihadapi manajer.

Manajer yang tak bersedia mengkonfrontir masalah dan menghindari situasi sulit biasanya selanjutnya hanya akan membuat masalah jadi lebih sulit.

Harga Diri
Ada manajer yang tak mengakui, ia tak tahu sesuatu. Ada juga yang tak mau bertanya, atau yang berusaha melakukan ‘gertak sambal' melalui situasi atau dasar keputusan yang tak mereka kuasai. Perilaku ini berkenaan dengan harga diri. Biasanya perilaku ini disertai dengan perilaku senang menghindar.

Berbohong
Banyak manajer berbohong di tempat kerja. Ini jarang disebabkan oleh gangguan kepribadian. Sebaliknya, sering dihubungkan dengan menghindari masalah-masalah sulit. Ini mungkin jenis kebohongan sosial, seperti tidak memberi jawaban jujur saat ada yang bertanya soal masalah sulit atau serius, seperti tak menceritakan pada orang lain mengapa mereka tak mendapat promosi.

Penting dicatat, berbohong berbeda dengan menyimpan informasi. Manajer sering menyembunyikan informasi yang tak bisa dibagi dengan pegawainya karena berbagai alasan. Namun, daripada berbohong saat ditanya soal informasi ini, lebih baik memberi jawaban sederhana, tak bisa memberikan informasi ini sekarang.

http://default.tabloidnova.com/article.php?name=/10-kebiasaan-buruk-manajer&channel=karier%2Fkonflik_kantor

Perilaku Politik di Tempat Kerja

Politik di tempat kerja? Apakah artinya ada kegiatan partai politik? Bukan itu yang dimaksud. Bukan bicara urusan sistem pemerintahan dan kenegaraan yang ada pengaruhnya terhadap perusahaan. Dan juga bukan bicara sistem kekuasaan parlemen. Politik disini (tempat kerja) lebih pada bagaimana kekuasaan bisa diraih oleh individu tertentu lewat penanaman pengaruh di kalangan kolega atau karyawan. Kekuasaan dimaksud seperti dalam hal memiliki dan mempertahankan posisi tertentu, mengatur suatu kebijakan normatif dan operasional, dan kekuasaan untuk melakukan hubungan vertikal dengan bos. Biasanya kekuasaan dikejar untuk memperoleh legitimasi kepemimpinan formal. Bawahan dikondisikan untuk menghormatinya. Namun tanpa disadari oleh sang “politikus”, setiap orang sebenarnya hanya menghormati dia karena jabatan bukan karena integritas kepribadian kepemimpinan yang tinggi.


Mereka yang terlibat dalam kancah ”politik” tersebut sering dikelompokkan sebagai orang yang dalam bekerjanya mengandalkan pada kekuatan kekuasaan (politik). Namun ketika kekuasaannya bisa diraih maka belum tentu mau berhubungan dengan para pendukungnya. Dengan kata lain lupa dan melupakan. Orang seperti ini bersifat plin-plan, oportunis, mengerjakan sesuatu yang menguntungkan dirinya, dan kurang mempertimbangkan kepentingan lingkungan kerja, teman-teman sejawat, karyawan, dan juga perusahaan. Lalu apa bedanya dengan orang yang bukan ”politikus” yakni yang lebih tekun pada proses produksi?

Menurut John C.Maxwell (The 360 degree Leader; 2005), orang-orang yang mengandalkan pada pertumbuhan produksi dicirikan oleh kebergantungan pada bagaimana mereka berkembang; fokus pada apa yang mereka kerjakan; senang menjadi karyawan yang berkinerja dengan lebih baik ketimbang pada tampilan; mengerjakan hal-hal yang pokok; bekerja untuk pengabdian; berkembang secara bertahap; dan keputusan berbasis prinsip-prinsip tertentu. Sementara, mereka yang tergolong orang-orang ”politikus” dicirikan oleh; kebergantungan pada siapa yang mereka tahu tentang dirinya; fokus pada apa yang mereka katakan; tampilan dinilai lebih hebat ketimbang kinerja; mengerjakan sesuatu untuk meraih popularitas; berharap untuk diberikan posisi yang lebih tinggi secara instan walau di luar kompetensinya; dan keputusan yang diambil berbasis pada opini.


Dalam prakteknya ada orang-orang tertentu yang begitu bergantung pada sang atasan. Biasanya mereka tergolong pada posisi lingkaran dalam. Semacam klik orang-orang dekat dengan atasan. Setiap individu dalam lingkungan ini cenderung berkarakter penjilat. Bahkan siap untuk membela mati-matian kebijakan sang atasan. Kalau perlu jadi ”tukang pukul”. Tentunya karena sifatnya yang oportunis, mereka berharap mendapat imbalan posisi tertentu. Kalau dipenuhi atasan mereka tentunya semakin gembira dan bersifat angkuh. Tetapi dalam prakteknya bisa jadi muncul fenomena yang berlawanan. Mereka akan dendam kesumat ketika mereka tidak mendapat posisi yang dikehendaki. Padahal selama itu mereka sudah berupaya selalu dekat dengan atasan. Nah, ketika itulah yang dilakukan sebagian dari mereka yang bernasib ”runyam” akan menjelek-jelekan atasan mereka. Bertebaranlah gosip kemana-mana untuk menunjukan kejengkelan pada sang bos. Lalu apa yang perlu dilakukan agar lingkungan kerja yang nyaman tidak terganggu?


Politik di perusahaan tidak mungkin dihilangkan. Sejauh tiap manusia memiliki ambisi pada kekuasaan maka disitu nempel sifat untuk mencari dukungan pengaruh. Karena itu yang bisa dilakukan adalah meminimumkan pengaruh politik terhadap lingkungan kerja. Pemimpin perusahaan, dalam hal ini manajemen puncak harus terus melakukan sosialisasi dan internalisasi tentang budaya korporat dimana didalamnya antara lain ada sistim nilai kerjasama, integritas kepribadian, efisiensi, kegigihan, akuntabilitas, dan keterbukaan.



http://ronawajah.wordpress.com/2008/07/02/perilaku-politik-di-tempat-kerja/

Minggu, 02 Mei 2010

My Hobbies

Nama saya Fauzia Rahayu, saya menulis di sini untuk memenuhi tugas yang dosen PO(Perilaku Organisasi) saya tugaskan . .
hehe. .

Saya kuliah d IM telkom Bandung semester 2 tahun angkatan 2009.

Di sini saya akan membicarakan tentang hobby saya dan beberapa pengalaman menarik saya.
Hobby saya yang paling saya senangi adalah berolahraga terutama bermain basket, saya sangat menyukai olahraga sejak kecil, sejak saya masih menduduki bangku sekolah dasar, dan saya mulai merintis hobby saya di basket sejak kelas 1 SMP, banyak event yang telah saya ikuti, dan beberapa prestasi telah saya capai, sampai sekarang pun saya kuliah di Im telkom, saya masih aktif dan sering mengikuti latihan rutin dengan anak-anak UABB IM Telkom. Saya senang dan sangat menikmatinya.

Selain itu saya juga sangat menyukai seni . .
yang paling saya senangi di seni adalah bernyanyi dan menari, dua-duanya saya sering lakukan untuk mengisi waktu senggang saya, saya pernah mengikutu kursus menari tradisional sewaktu menduduki bangku SD, dan masalah bernyanyi saya belajar otodidak, meskipun dengan suara yang pas-pasan.
SMP dan SMA saya sering mengikuti berbagai kompetisi modern dance di kota asal saya, tetapi prestasi yang di dapatkan tidak sebaik saya bermain basket, akhirnya saya hanya menari (dance) sebagai bintang tamu d event-event tertentu.

Tidak ada prestasi khusus saya dalam bernyanyi hanya saya sangat senang bila berkaroke ria dengan teman-teman saya, saya membuat grup band untuk menyalurkan bakat saya, dimulai dengan keisengan, mudah-mudahan bisa menghasilkan sesuatu.

Teori - Teori Dasar Kepemimpinan

TEORI KEPEMIMPINAN KLASIK DAN TEORI KONTINGENSI

1. Kepemimpinan Menurut Teori Sifat (Trait Theory)

Studi-studi mengenai sifat-sifat/ciri-ciri mula-mula mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik fisik, ciri kepribadian, dan kemampuan orang yang dipercaya sebagai pemimpin alami. Ratusan studi tentang sifat/ciri telah dilakukan, namun sifat-sifat/ciri-ciri tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dan konsisten dengan keberhasilan kepemimpinan seseorang. Penelitian mengenai sifat/ciri tidak memperhatikan pertanyaan tentang bagaimana sifat/ciri itu berinteraksi sebagai suatu integrator dari kepribadian dan perilaku atau bagaimana situasi menentukan relevansi dari berbagai sifat/ciri dan kemampuan bagi keberhasilan seorang pemimpin.

Berbagai pendapat tentang sifat-sifat/ciri-ciri ideal bagi seorang pemimpin telah dibahas dalam kegiatan belajar ini termasuk tinjauan terhadap beberapa sifat/ciri yang ideal tersebut.


2. Kepemimpinan Menurut Teori Perilaku (Behavioral Theory)


menggunakan kuesioner untuk mengukur perilaku yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada hubungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat bagaimana perilaku tersebut dihubungkan dengan kriteria tentang efektivitas kepemimpinan seperti kepuasan dan kinerja bawahan. Peneliti-peneliti lainnya menggunakan eksperimen laboratorium atau lapangan untuk menyelidiki bagaimana perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan. Jika kita cermati, satu-satunya penemuan yang konsisten dan agak kuat dari teori perilaku ini adalah bahwa para pemimpin yang penuh perhatian mempunyai lebih banyak bawahan yang puas.

Hasil studi kepemimpinan Ohio State University menunjukkan bahwa perilaku pemimpin pada dasarnya mengarah pada dua kategori yaitu consideration dan initiating structure. Hasil penelitian dari Michigan University menunjukkan bahwa perilaku pemimpin memiliki kecenderungan berorientasi kepada bawahan dan berorientasi pada produksi/hasil. Sementara itu, model leadership continuum dan Likert’s Management Sistem menunjukkan bagaimana perilaku pemimpin terhadap bawahan dalam pembuatan keputusan. Pada sisi lain, managerial grid, yang sebenarnya menggambarkan secara grafik kriteria yang digunakan oleh Ohio State University dan orientasi yang digunakan oleh Michigan University. Menurut teori ini, perilaku pemimpin pada dasarnya terdiri dari perilaku yang pusat perhatiannya kepada manusia dan perilaku yang pusat perhatiannya pada produksi.

3. Teori Kontingensi (Contigensy Theory)

Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Teori Path-Goal tentang kepemimpinan meneliti bagaimana empat aspek perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan serta motivasi pengikut. Pada umumnya pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi yang mungkin dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius dan bahwa usaha yang demikian akan berhasil, maka kemungkinan akan melakukan usaha tersebut. Aspek-aspek situasi seperti sifat tugas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut.

LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut.


Selama tiga dekade, dimulai pada permulaan tahun 1950-an, penelitian mengenai perilaku pemimpin telah didominasi oleh suatu fokus pada sejumlah kecil aspek dari perilaku. Kebanyakan studi mengenai perilaku kepemimpinan selama periode tersebut

Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.


4. Kepemimpinan Kharismatik

Karisma merupakan sebuah atribusi yang berasal dari proses interaktif antara pemimpin dan para pengikut. Atribut-atribut karisma antara lain rasa percaya diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang, kemampuan berbicara dan yang lebih penting adalah bahwa atribut-atribut dan visi pemimpin tersebut relevan dengan kebutuhan para pengikut.

Berbagai teori tentang kepemimpinan karismatik telah dibahas dalam kegiatan belajar ini. Teori kepemimpinan karismatik dari House menekankan kepada identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh pemimpin dan pengaruh pemimpin terhadap tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para pengikut. Teori atribusi tentang karisma lebih menekankan kepada identifikasi pribadi sebagai proses utama mempengaruhi dan internalisasi sebagai proses sekunder. Teori konsep diri sendiri menekankan internalisasi nilai, identifikasi sosial dan pengaruh pimpinan terhadap kemampuan diri dengan hanya memberi peran yang sedikit terhadap identifikasi pribadi. Sementara itu, teori penularan sosial menjelaskan bahwa perilaku para pengikut dipengaruhi oleh pemimpin tersebut mungkin melalui identifikasi pribadi dan para pengikut lainnya dipengaruhi melalui proses penularan sosial. Pada sisi lain, penjelasan psikoanalitis tentang karisma memberikan

kejelasan kepada kita bahwa pengaruh dari pemimpin berasal dari identifikasi pribadi dengan pemimpin tersebut.

Karisma merupakan sebuah fenomena. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan oleh seorang pemimpin karismatik untuk merutinisasi karisma walaupun sukar untuk dilaksanakan. Kepemimpinan karismatik memiliki dampak positif maupun negatif terhadap para pengikut dan organisasi.

5. Kepemimpinan Trnasformasional

Pemimpin pentransformasi (transforming leaders) mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan mengarahkannya kepada cita-cita dan nilai-nilai moral yang lebih tinggi.

Burns dan Bass telah menjelaskan kepemimpinan transformasional dalam organisasi dan membedakan kepemimpinan transformasional, karismatik dan transaksional. Pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih peka terhadap nilai dan pentingnya pekerjaan, mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan para pengikut lebih mementingkan organisasi. Hasilnya adalah para pengikut merasa adanya kepercayaan dan rasa hormat terhadap pemimpin tersebut, serta termotivasi untuk melakukan sesuatu melebihi dari yang diharapkan darinya. Efek-efek transformasional dicapai dengan menggunakan karisma, kepemimpinan inspirasional, perhatian yang diindividualisasi serta stimulasi intelektual.

Hasil penelitian Bennis dan Nanus, Tichy dan Devanna telah memberikan suatu kejelasan tentang cara pemimpin transformasional mengubah budaya dan strategi-strategi sebuah organisasi. Pada umumnya, para pemimpin transformasional memformulasikan sebuah visi, mengembangkan sebuah komitmen terhadapnya, melaksanakan strategi-strategi untuk mencapai visi tersebut, dan menanamkan nilai-nilai baru.